Selasa, 27 September 2011

TINJAUAN SOSIOLOGIS TERHADAP PENGATURAN MENGENAI PEKERJAAN KEFARMASIAN DI APOTEK

                                                                  I. Pendahuluan

Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya dari pembangunan nasional yang diselenggarakan di semua bidang kehidupan. Pembangunan kesehatan diarahkan guna terciptanya keadaan sehat. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Di dalam mengoptimalisasikan derajat kesehatan masyarakat tersebut, pembangunan kesehatan diimplementasikan dalam bentuk pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya pelayanan kefarmasian.

Pelayanan kefarmasian dilakukan selain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap farmasi dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, juga untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan farmasi atau penggunaan farmasi yang tidak tepat dan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pelayanan kefarmasian juga ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan terkait dengan penggunaan farmasi sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupan manusia.

Didalam pelayanan kefarmasian di apotek, peranan apoteker menjadi perhatian utama karena apoteker merupakan penanggung jawab dalam praktik pelayanan kefarmasian di apotek.
Disamping itu, apotek juga bukan merupakan tempat jual beli obat, melainkan tempat melakukan pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker pengelola apotek, dengan bantuan tenaga kesehatan dan non kesehatan. Peran apoteker bukanlah sekedar meracik obat, tetapi juga memberikan informasi obat yang aman dan benar.

Keharusan apoteker berada pada sepanjang jam buka apotek telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek. Dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa pengelolaan apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker. Melalui ketentuan tersebut, pengelolaan apotek telah beralih dari badan usaha kepada sarjana farmasi sebagai tempat pengabdian profesi.

Dalam praktik di lapangan, situasi pelayanan kefarmasian di apotek saat ini masih belum optimal dikarenakan peran apoteker yang belum berjalan. Pada jam buka apotek sering tidak dijumpainya seorang apoteker, sedangkan menurut ketentuan dalam pengelolaan apotik, apoteker harus ada di tempat sepanjang jam buka apotek. Berdasarkan hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) lebih dari 50% apotek tidak dijaga apotekernya, sedangkan di papan nama apotek jelas tertera apotek buka 24 jam lengkap dengan nama apotekernya. (Koran Sindo, 4 Mei 2007)

Dalam pelayanan kefarmasian di apotek, masyarakat lebih banyak menjumpai asisten apoteker sebagai pengelola apotek daripada apoteker. Dari sudut pandang keilmuan, asisten apoteker tidak dapat menggantikan apoteker di dalam pekerjaan kefarmasian karena basic keilmuan yang berbeda.

Namun disisi lain, berdasarkan praktik yang terjadi secara berulang dan terus menerus, asisten apoteker dinilai telah memiliki pengetahuan yang sama di bidang obat berdasarkan ilmu yang diperolehnya selama dalam proses pendidikan ditambah dengan pengetahuan yang diperoleh secara praktis.

Terkait dengan pengaturan mengenai pekerjaan kefarmasian dimana di dalamnya terdapat ketentuan bagi apoteker dan asisten apoteker dalam melaksanakan pekerjaannya, pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan akan memperbaiki sistem pelayanan kefarmasian dengan menertibkan peran apoteker dalam pengelolaan apotek melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pekerjaan Kefarmasian. Dalam makalah ini akan dikaji aspek sosiologis terhadap penyusunan RPP tentang Pekerjaan Kefarmasian.

                                                           II. Pembahasan

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dinyatakan bahwa orientasi pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser dari obat ke pasien yang mengacu pada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.

Bentuk interaksi tersebut antara lain melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui agar takaran dan bentuknya atau tujuan akhirnya sesuai harapan dokter yang memberi resep bersama-sama pasiennya dan terdokumentasikannya resep dengan baik.
Dengan tuntutan yang semakin luas terhadap peran apoteker dalam konsep pharmaceutical care tersebut dan maraknya berbagai pengaduan masyarakat mengenai peranan apoteker yang tidak optimal di apotek, pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah menyusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian yang saat ini sedang dalam proses penetapan Presiden menjadi Peraturan Pemerintah (PP).

Dalam draft RPP dinyatakan beberapa tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian, yaitu :
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan atau menetapkan yang berkaitan dengan jasa kefarmasian dan sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.

Mengenai tenaga kefarmasian disebutkan terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang meliputi Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Asisten Apoteker/Tenaga Menengah Farmasi dan Analis Farmasi. Kewenangan apoteker antara lain melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki. Sedangkan untuk kewenangan tenaga teknis kefarmasian dinyatakan bahwa Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) mempunyai wewenang untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dibawah bimbingan dan pengawasan apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, secara yuridis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, asisten apoteker tetap berada dalam bimbingan dan pengawasan apoteker. Hal inilah yang dinilai kalangan profesi asisten apoteker sebagai ketentuan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, karena pada kenyataannya asisten apoteker telah berperan sebagai apoteker dalam melayani masyarakat di apotek, termasuk pemberian informasi tentang obat yang harus dilakukan oleh apoteker.

Dalam sudut pandang hukum, kewenangan tetap harus diberikan berdasarkan basic keilmuan, sehingga walaupun secara pengalaman asisten apoteker telah matang dalam pengelolaan apotek, tidak berarti menjadikannya sebagai apoteker, karena pengetahuan yang didapat memang berbeda. Hal ini menjadi dilematis, karena dalam praktik pelayanan kefarmasian, prinsip ketersediaan dan keterjangkauan tetap harus dikedepankan disamping profesionalisme mengingat farmasi sangat terkait erat dengan penentuan hidup mati manusia, bersama-sama dengan kedokteran. Ketidakhadiran apoteker selama ini di apotek telah dibantu dengan keberadaan asisten apoteker, sehingga peranan asisten apoteker juga tidak dapat dipinggirkan begitu saja demi jaminan penerimaan pelayanan kefarmasian di apotek.

Dalam peranan hukum untuk mengubah masyarakat, akan dijumpai suatu perbedaan antara pola-pola perilaku yang hidup dalam masyarakat dengan pola-pola yang dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum. Adalah suatu keadaan yang lazim, bahwa kaidah-kaidah hukum disusun dan direncanakan oleh sebagian kecil dari masyarakat yang menamakan dirinya sebagai elit masyarakat tersebut, yang mungkin berbeda kepentingan dan pola-pola perilakunya dengan yang diatur. Lagipula suatu kaidah hukum berisikan patokan perilaku yang kelak diharapkan. Namun hal demikian akan menyebabkan tertinggalnya hukum di belakang perubahan sosial masyarakat (Soerjono Soekanto, 2004).

Peranan hukum dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek, yang membuat beralihnya pengelolaan apotek dari badan usaha ke sarjana farmasi, tidak diimbangi dengan kaidah-kaidah lain yang dibutuhkan masyarakat profesi apoteker, seperti dengan pemberian reward yang memadai.

Menurut ajaran aliran sociological jurisprudence, hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal (Soerjono Soekanto, 2004). Sociological jurisprudence mengkaji bagaimana norma disesuaikan dengan rasa keadilan masyarakat sehingga ditekankan pada kesebandingan hukum.

Dengan demikian dalam draft RPP Pekerjaan Kefarmasian juga harus memperhatikan unsur kebutuhan sosial guna menciptakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dalam pelayanan kefarmasian. Disamping itu dalam menetapkan hukum juga harus diperhatikan pola perilaku yang sesuai, artinya dalam pembuatan hukum seharusnya terdapat pengkajian terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan keberlakuan dan efektifitas aturan tersebut sehingga hukum tidak tertinggal karena tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu.

Pengaturan kewenangan dalam draft RPP Pekerjaan kefarmasian dinilai kalangan profesi asisten apoteker dapat menimbulkan dilema terkait dengan jaminan ketersediaan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat dengan praktik kefarmasian yang dibenarkan secara hukum. Sementara ketidakpatuhan apoteker untuk berada sepanjang jam buka apotek, turut didukung oleh lemahnya pengawasan pemerintah.

Dalam konteks sosiologi hukum, ketidakpatuhan hukum ini terkait dengan budaya hukum yang menggambarkan kegagalan internalisasi norma dan nilai sosial dari hukum ke dalam sikap dan perilaku masyarakat. Kegagalan internalisasi norma dapat disebabkan karena penggunaan hukum modern dalam masyarakat namun masyarakat masih mengharapkan nilai tradisional. Sebagai contoh, masyarakat masih lebih mengakui peran dokter dalam pengobatan penyakitnya, sementara penjelasan tentang obat yang harus dipakainya yang merupakan pengabdian apoteker, masih dirasakan sebagai penambahan beban prosees menunggu ditebusnya resep.

Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Terjadinya konflik antara nilai-nilai hukum berasal dari interaksi antara nilai-nilai tertentu dengan struktur sosial dimana nilai-nilai itu dijalankan (Satjipto Rahardjo, 2003).

Dalam kondisi masyarakat majemuk, seperti Indonesia, hukum modern lebih dikedepankan, sehingga yang akan tersingkir adalah masyarakat tradisional. Namun tentunya demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, hukum harus mengadopsi nilai-nilai sosial dari semua kelompok masyarakat yang ada.
Hukum sebagai tool of social engineering, mendorong lembaga-lembaga tertentu dalam membangun kondisi sosial ekonomi (proses rekayasa sosial), sehingga hukum bisa berfungsi sebagai pendorong terciptanya perilaku-perilaku tertentu.

Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya (Satjipto Rahardjo, 2003).

Dengan demikian dalam penciptaan hukum, berbagai aspek sosial harus diperhatikan demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga sesuai dengan tujuannya, pengaturan dalam RPP Pekerjaan Kefarmasian dapat memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat di dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian, mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian, serta memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.


                                                                III. Penutup

Konsep pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser dari obat ke pasien, sehingga peranan apoteker juga diharapkan dapat menunjang praktik pelayanan kefarmasian yang ditujukan untuk melindungi masyarakat terkait dengan penggunaan farmasi. Dalam hal peranan apoteker sebagai penanggung jawab di apotek, apoteker juga diharapkan dapat memenuhi hak konsumen akan pelayanan kefarmasian, antara lain hak berkonsultasi dengan apoteker di apotek tersebut, selain menebus obat atau membeli obat dalam rangka pengobatan sendiri, sehingga di tiap apotek yang buka harus ada apoteker yang bertugas.




Namun kenyataannya sepanjang jam buka apotek jarang sekali ditemui seorang apoteker, dan yang ada hanyalah asisten apoteker, sehingga dorongan untuk memperbaiki situasi pelayanan farmasi melalui pengaturan yang holistik saat ini telah datang dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah mengeluarkan draft RPP tentang Pekerjaan Kefarmasian yang salah satunya memberikan penegasan terhadap peranan apoteker dalam mengelola apotek, termasuk didalamnya diatur juga mengenai kewenangan asisten apoteker untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di bawah bimbingan dan pengawasan apoteker.

Dari sudut pandang sosiologis, menyangkut ketidakpatuhan apoteker terhadap ketentuan pengelolaan apotek, terjadi kegagalan internalisasi norma dari hukum ke dalam sikap dan perilaku masyarakat, sehingga hukum seharusnya dapat memenuhi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Terkait dengan ketentuan batasan kewenangan dari asisten apoteker dalam RPP Pekerjaan Kefaramasian, hukum juga harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Asisten apoteker dalam pelayanan di apotek selama ini telah memenuhi kebutuhan masyarakat terkait dengan penggunaan obat yang berhubungan dengan hidup manusia, sehingga terhadap draft RPP Pekerjaan Kefarmasian perlu dibuat suatu ketentuan peralihan untuk menyesuaikan perubahan yang ada, baik dari aspek hukum maupun dari aspek sosiologis.




Berangkat dari kajian di atas, maka dalam pembuatan peraturan diperlukan kajian sosiologis demi berlakunya peraturan secara efektif, karena hukum akan hidup dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan sosial tertentu. Dalam hal ini, RPP Pekerjaan Kefarmasian yang dibuat juga ditujukan untuk pengaturan praktik pekerjaan kefarmasian yang lebih baik, demi kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar