Selasa, 27 September 2011

Dokter VS Apoteker

Di ruang tunggu sebuah bandara kecil di sebuah kota kecil. Mendengarkan obrolan dua orang dokter yang duduk di sebelah saya;
Dokter 1: Pasien saya bayinya meninggal dalam kandungan gara-gara obat dari apoteker. Obat yang dikasih apoteker itu gak sesuai dengan resep yang saya tulis.
Dokter 2: Oh ya? Wah gawat tuh..! trus gimana?
Dokter 1: Ya udah, bayinya meninggal.
Dokter 2: Trus pasien itu nuntut gak?
Dokter 1: Nggak, orang dia gak tau. Saya juga baru tau setelah kejadian.
Setelah saya liat lagi resepnya di apoteker itu, ketauan bahwa obat yang dikasih gak sesuai dengan obat di resep yang saya tulis.
Dokter 2: Waduh kasian ya pasien itu. Kenapa bisa gitu ya? Apotekernya gak pengalaman kali tuh.
Dokter 1: Ya. Udah beberapa kali tuh kejadian kayak gitu.
Apoteker kita satu itu emang gak bener. Seharusnya kalo dia gak tau obatnya kan bisa tanya ke saya dulu.
Dokter 2: Pasien saya juga pernah begitu. Waktu itu apoteker nya salah ngasih obat ke pasien saya.
Dokter 1: Terus gimana pak? Meninggal?
Dokter 2: Untungnya obat itu belum diminum. Pasien saya bingung pas diliat obatnya beda, dia langsung tanya ke saya. Ternyata obat yang dikasih apoteker nya emang gak sesuai dengan resep saya.
Dokter 1: Masih untung kalo gitu.
Dokter 2: Ya biar gimanapun kita sebagai dokter perlu introspeksi juga. Mungkin aja tulisan kita emang gak bisa dibaca oleh apoteker itu.
Dokter 1: Ya tapi kan itu emang tugasnya apoteker. Seharusnya bisa lebih teliti. Kalo ragu, kan bisa tanya dulu ke dokter nya.

Sebagai pengamat sosial politik budaya dan kemanusiaan, menurut saya ada beberapa hipotesis yang dapat menjelaskan penyebab terjadinya kasus yang merugikan pasien nan -lugu-tak berdaya- tersebut :
1. Tulisan dokter terlalu jelek, sehingga gak bisa dibaca oleh apoteker.
Kita semua sama-sama tau, bahwa seolah ada aturan tidak tertulis untuk seorang dokter bahwa tulisannya harus jelek.
Gak tau kenapa.
Mungkin supaya tulisannya gak bisa ditiru. Mungkin dokter pada umumnya terdidik untuk menulis dengan cepat. Boro-boro menulis indah.
Solusi : Selain dibekali ilmu dan kemampuan dalam bidang penyembuhan, seorang dokter selayaknya diberi kemampuan untuk menulis dengan baik dan benar.
Jika diperlukan, dapat diselipkan mata kuliah khusus untuk hal tersebut di kurikulum baru.
2. Si apoteker matanya minus, tapi males pake kacamata dan sok tau.
Tulisan dokter yang emang udah jelek dibaca oleh mata minus tanpa kacamata jadi tambah aneh berantakan gak bisa dibaca.
Dilengkapi dengan sifat sok tau yang dimiliki, mungkin si apoteker langsung mengambil kesimpulan bahwa obat yang dimaksud adalah (misalnya, saya ngarang) “Cyprofloxacin” padahal yang dimaksud si dokter adalah “Cyprofloxasin”.
Solusi : Apoteker juga perlu dibekali dengan kemampuan membaca dengan baik dan benar. Terutama tulisan dokter.
Tidak dibenarkan alasan rabun senja, apalagi buta huruf.
3. Pasien kurang waspada.
Inget jamannya OSPEK (gak tau sekarang namanya apa), aturan yang berlaku;
Pasal 1 : Senior selalu benar.
Pasal 2 : Jika senior salah, kembali ke Pasal 1.
Bisa aja kan, si pasien masih memegang teguh kedua pasal tersebut dan diamalkan dalam kehidupan.
Pasal 1 : Apoteker selalu benar.
Pasal 2 : Jika apoteker salah, kembali ke pasal 1.
Secara tulisan dokter emang susah dibaca dan kepatuhan terhadap pasal-pasal yang (tidak) berlaku tersebut, pasien langsung percaya bahwa obat yang dikasih apoteker itu sesuai sama anjuran dokter dan langsung diminum.
Solusi : Jangan langsung minum obatnya kalo belum bayar.
Sementara ini hanya 3 hipotesis dan solusi tersebut yang dapat saya kemukakan.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar