Kesehatan Indonesia semakin hari semakin memburuk. Salah satu penyebabnya adalah kondisi perekonomian Indonesia yang tidak kunjung membaik. Masyarakat miskin memandang kesehatan adalah kebutuhan yang dapat ditunda demi pemenuhan kebutuhan lain yang lebih fundamental, makan misalnya.
Saat ini di Indonesia, persentase penduduk miskinnya mencapai 16,58% (Depkes RI, 2008). Pada masyarakat dengan status ekonomi rendah ditambah dengan pendidikan yang rendah, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan sebagai aspek yang merupakan penekanan upaya promotif dan preventif dalam pembangunan kesehatan, cenderung belum menjadi sesuatu yang dirasakan sebagai kebutuhan. Oleh karena itu, sementara menunggu kondisi perekonomian Indonesia membaik, maka perlu upaya peningkatan kesadaran memelihara kesehatan (masyarakat) sendiri dalam bentuk swamedikasi (self medication).
Menurut WHO (World Health Organization), Swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri. Swamedikasi juga diartikan sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif penderita (pasien). Swamedikasi menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan sebagai objek yang hanya menerima pengupayaan kesehatan oleh pemerintah, tetapi mengupayakan kesehatannya sendiri. AphA (American Pharmacists Association) mengklasifikasikan swamedikasi menjadi: (1) Perilaku gaya hidup sehat dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit; (2) Perilaku swamedikasi medis yang berhubungan dengan gejala dan pengobatan; (3) Perilaku yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sehari-hari tiap individu.
Disadari atau tidak swamedikasi telah berjalan dari zaman dahulu kala secara tradisional oleh para nenek moyang Bangsa Indonesia yang dikenal dengan jamunya, mengingat letak geografis Negara Indonesia yang banyak ditumbuhi tanaman obat. Seiring dengan perkembangan zaman, maka diperlukan swamedikasi yang lebih terarah dengan tanaman obat yang telah dikemas dalam bentuk yang lebih modern. Dengan adanya swamedikasi yang terarah, maka masyarakat yang sakit, terlepas dari mereka kaya atau miskin, dapat melakukan pengobatan terhadap dirinya sendiri maupun kepada keluarganya.
Tenaga kesehatan yang paling berperan dalam mengarahkan swamedikasi adalah apoteker (farmasis). Mengapa apoteker? Karena dalam pelaksanaan swamedikasi seperti, pemilihan obat, pasien paling banyak berinteraksi dengan apoteker yang memang memiliki kualifikasi dalam bidang tersebut. Posisi farmasis menjadi sangat strategis dalam mewujudkan pengobatan rasional bagi masyarakat karena keterlibatannya secara langsung dalam aspek aksebilitas, ketersediaan, keterjangkauan sampai pada penggunaan obat dan perbekalan kesehatan lain, sehingga dimungkinkan terciptanya keseimbangan antara aspek klinis dan ekonomi berdasarkan kepentingan pasien. Obat-obatan yang dapat diperoleh masyarakat secara bebas dilengkapi dengan informasi yang lengkap mengenai obat tersebut dan telah melewati serangkaian pengujian keefektifan dan keamanan obat. Untuk meningkatkan keamanan pasien FDA (Food and Drug Administration) mengharuskan semua obat (termasuk obat bebas) untuk diberi label dengan kode bar, yang akan menjamin pemakain obat dengan benar, obat yang tepat dalam jumlah yang tepat dan pada waktu yang tepat. Dalam hal ini, apoteker dapat memberikan asuhan kefarmasiannya melalui kode bar yang ada pada sediaan (obat). Disinilah peranan farmasis menjadi sangat penting.
Swamedikasi memiliki beberapa keuntungan dalam penerapannya, yaitu : (1) Biaya yang diperlukan tidak banyak karena tidak harus ke rumah sakit dan diperiksa oleh dokter; (2) Lebih mudah karena pengobatan dilakukan sendiri menggunakan obat-obatan yang mudah diperoleh; (3) Kualitas pengobatan terjamin karena dilakukan sendiri, secara tidak sadar pasien akan mengupayakan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Penggunaan obat tanpa resep untuk swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas dan memberikan efikasi sesuai yang diharapkan; dan (4) Aman karena obat yang dipakai adalah obat yang telah melewati serangkaian pengujian dan tertera aturan (dosis) pemakaian obat.
Menurut Widayati (2006), swamedikasi akan berjalan dengan baik dan terus meningkat. Beberapa faktor berperan dalam peningkatan tersebut, yaitu: (1) Pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya; (2) Motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri; (3) Ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR (Obat Tanpa Resep) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul; serta (4) Diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan.
Kabar baiknya saat ini adalah ada sekitar ratusan penyakit yang dapat ditangani dengan swamedikasi (AphA, 2004), misalnya diare, faringitis, konstipasi, sakit dan nyeri (umum, ringan, sampai sedang), alergi, anemia, pengontrolan tekanan darah, kaki atlit, asma, jerawat, kapalan, dermatitis, wasir, sakit kepala, insomia, psoriasis, pilek, demam, muntah, obesitas, sinuisitis, ketombe, luka bakar, biang keringat, penyakit peridontal, kandida vaginitis, xerostomia dan masih banyak lagi. Dengan demikian, swamedikasi merupakan salah satu cara peningkatan kesehatan yang sangat baik untuk diterapkan di Indonesia, karena lebih murah dan mudah tetapi tidak mengabaikan kualitas pengobatan melalui pengoptimalan tenaga farmasis dan masyarakat. Sudah saatnya Pemerintah mengintensifkan program jangka panjang yang memberdayakan masyarakat sendiri seperti swamedikasi daripada mencoba menyediakan berbagai sarana kesehatan yang sulit terealisasi dan sulit dijangkau oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar