All News
Jumat, 30 September 2011
Kontestan Model L-Men 2010
Ini foto para kontestan L-men yang tak sengaja ketemu dengan para panitia L-men 2010 di yogyakarta.
ini adalah foto remaja sman 21 bandung yang sedang study tour.
Kamis, 29 September 2011
Empat Keutamaan dan Kewajiban
Ada Empat perkara yang Zahirnya merupakan keutamaan dan batinnya merupakan kewajiban.
Yaitu :
Pertama, bergaul dengan orang shalih merupakan keutamaan sedangkan mengikuti jejak mereka adalah suatu kewajiban.
Kedua, membaca Al Quran adalah keutamaan sedangkan memahami kandungannya adalah kewajiban.
Ketiga, ziarah kubur ke makam orang shalih adlah keutamaan, sedangkan menyiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian adalah suatu kewajiban.
Keempat, menjenguk orang sakit adalah keutamaan, sedangkan berwasiat di akhir hayat adalah suatu kewajiban.
(Utsman bin Affan r.a)
Yaitu :
Pertama, bergaul dengan orang shalih merupakan keutamaan sedangkan mengikuti jejak mereka adalah suatu kewajiban.
Kedua, membaca Al Quran adalah keutamaan sedangkan memahami kandungannya adalah kewajiban.
Ketiga, ziarah kubur ke makam orang shalih adlah keutamaan, sedangkan menyiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian adalah suatu kewajiban.
Keempat, menjenguk orang sakit adalah keutamaan, sedangkan berwasiat di akhir hayat adalah suatu kewajiban.
(Utsman bin Affan r.a)
Selasa, 27 September 2011
Dokter VS Apoteker
Di ruang tunggu sebuah bandara kecil di sebuah kota kecil. Mendengarkan obrolan dua orang dokter yang duduk di sebelah saya;
Dokter 1: Pasien saya bayinya meninggal dalam kandungan gara-gara obat dari apoteker. Obat yang dikasih apoteker itu gak sesuai dengan resep yang saya tulis.
Dokter 2: Oh ya? Wah gawat tuh..! trus gimana?
Dokter 1: Ya udah, bayinya meninggal.
Dokter 2: Trus pasien itu nuntut gak?
Dokter 1: Nggak, orang dia gak tau. Saya juga baru tau setelah kejadian.
Setelah saya liat lagi resepnya di apoteker itu, ketauan bahwa obat yang dikasih gak sesuai dengan obat di resep yang saya tulis.
Dokter 2: Waduh kasian ya pasien itu. Kenapa bisa gitu ya? Apotekernya gak pengalaman kali tuh.
Dokter 1: Ya. Udah beberapa kali tuh kejadian kayak gitu.
Apoteker kita satu itu emang gak bener. Seharusnya kalo dia gak tau obatnya kan bisa tanya ke saya dulu.
Dokter 2: Pasien saya juga pernah begitu. Waktu itu apoteker nya salah ngasih obat ke pasien saya.
Dokter 1: Terus gimana pak? Meninggal?
Dokter 2: Untungnya obat itu belum diminum. Pasien saya bingung pas diliat obatnya beda, dia langsung tanya ke saya. Ternyata obat yang dikasih apoteker nya emang gak sesuai dengan resep saya.
Dokter 1: Masih untung kalo gitu.
Dokter 2: Ya biar gimanapun kita sebagai dokter perlu introspeksi juga. Mungkin aja tulisan kita emang gak bisa dibaca oleh apoteker itu.
Dokter 1: Ya tapi kan itu emang tugasnya apoteker. Seharusnya bisa lebih teliti. Kalo ragu, kan bisa tanya dulu ke dokter nya.
…
Sebagai pengamat sosial politik budaya dan kemanusiaan, menurut saya ada beberapa hipotesis yang dapat menjelaskan penyebab terjadinya kasus yang merugikan pasien nan -lugu-tak berdaya- tersebut :
1. Tulisan dokter terlalu jelek, sehingga gak bisa dibaca oleh apoteker.
Kita semua sama-sama tau, bahwa seolah ada aturan tidak tertulis untuk seorang dokter bahwa tulisannya harus jelek.
Gak tau kenapa.
Mungkin supaya tulisannya gak bisa ditiru. Mungkin dokter pada umumnya terdidik untuk menulis dengan cepat. Boro-boro menulis indah.
Solusi : Selain dibekali ilmu dan kemampuan dalam bidang penyembuhan, seorang dokter selayaknya diberi kemampuan untuk menulis dengan baik dan benar.
Jika diperlukan, dapat diselipkan mata kuliah khusus untuk hal tersebut di kurikulum baru.
2. Si apoteker matanya minus, tapi males pake kacamata dan sok tau.
Tulisan dokter yang emang udah jelek dibaca oleh mata minus tanpa kacamata jadi tambah aneh berantakan gak bisa dibaca.
Dilengkapi dengan sifat sok tau yang dimiliki, mungkin si apoteker langsung mengambil kesimpulan bahwa obat yang dimaksud adalah (misalnya, saya ngarang) “Cyprofloxacin” padahal yang dimaksud si dokter adalah “Cyprofloxasin”.
Solusi : Apoteker juga perlu dibekali dengan kemampuan membaca dengan baik dan benar. Terutama tulisan dokter.
Tidak dibenarkan alasan rabun senja, apalagi buta huruf.
3. Pasien kurang waspada.
Inget jamannya OSPEK (gak tau sekarang namanya apa), aturan yang berlaku;
Pasal 1 : Senior selalu benar.
Pasal 2 : Jika senior salah, kembali ke Pasal 1.
Bisa aja kan, si pasien masih memegang teguh kedua pasal tersebut dan diamalkan dalam kehidupan.
Pasal 1 : Apoteker selalu benar.
Pasal 2 : Jika apoteker salah, kembali ke pasal 1.
Secara tulisan dokter emang susah dibaca dan kepatuhan terhadap pasal-pasal yang (tidak) berlaku tersebut, pasien langsung percaya bahwa obat yang dikasih apoteker itu sesuai sama anjuran dokter dan langsung diminum.
Solusi : Jangan langsung minum obatnya kalo belum bayar.
Sementara ini hanya 3 hipotesis dan solusi tersebut yang dapat saya kemukakan.
Semoga bermanfaat.
Dokter 1: Pasien saya bayinya meninggal dalam kandungan gara-gara obat dari apoteker. Obat yang dikasih apoteker itu gak sesuai dengan resep yang saya tulis.
Dokter 2: Oh ya? Wah gawat tuh..! trus gimana?
Dokter 1: Ya udah, bayinya meninggal.
Dokter 2: Trus pasien itu nuntut gak?
Dokter 1: Nggak, orang dia gak tau. Saya juga baru tau setelah kejadian.
Setelah saya liat lagi resepnya di apoteker itu, ketauan bahwa obat yang dikasih gak sesuai dengan obat di resep yang saya tulis.
Dokter 2: Waduh kasian ya pasien itu. Kenapa bisa gitu ya? Apotekernya gak pengalaman kali tuh.
Dokter 1: Ya. Udah beberapa kali tuh kejadian kayak gitu.
Apoteker kita satu itu emang gak bener. Seharusnya kalo dia gak tau obatnya kan bisa tanya ke saya dulu.
Dokter 2: Pasien saya juga pernah begitu. Waktu itu apoteker nya salah ngasih obat ke pasien saya.
Dokter 1: Terus gimana pak? Meninggal?
Dokter 2: Untungnya obat itu belum diminum. Pasien saya bingung pas diliat obatnya beda, dia langsung tanya ke saya. Ternyata obat yang dikasih apoteker nya emang gak sesuai dengan resep saya.
Dokter 1: Masih untung kalo gitu.
Dokter 2: Ya biar gimanapun kita sebagai dokter perlu introspeksi juga. Mungkin aja tulisan kita emang gak bisa dibaca oleh apoteker itu.
Dokter 1: Ya tapi kan itu emang tugasnya apoteker. Seharusnya bisa lebih teliti. Kalo ragu, kan bisa tanya dulu ke dokter nya.
…
Sebagai pengamat sosial politik budaya dan kemanusiaan, menurut saya ada beberapa hipotesis yang dapat menjelaskan penyebab terjadinya kasus yang merugikan pasien nan -lugu-tak berdaya- tersebut :
1. Tulisan dokter terlalu jelek, sehingga gak bisa dibaca oleh apoteker.
Kita semua sama-sama tau, bahwa seolah ada aturan tidak tertulis untuk seorang dokter bahwa tulisannya harus jelek.
Gak tau kenapa.
Mungkin supaya tulisannya gak bisa ditiru. Mungkin dokter pada umumnya terdidik untuk menulis dengan cepat. Boro-boro menulis indah.
Solusi : Selain dibekali ilmu dan kemampuan dalam bidang penyembuhan, seorang dokter selayaknya diberi kemampuan untuk menulis dengan baik dan benar.
Jika diperlukan, dapat diselipkan mata kuliah khusus untuk hal tersebut di kurikulum baru.
2. Si apoteker matanya minus, tapi males pake kacamata dan sok tau.
Tulisan dokter yang emang udah jelek dibaca oleh mata minus tanpa kacamata jadi tambah aneh berantakan gak bisa dibaca.
Dilengkapi dengan sifat sok tau yang dimiliki, mungkin si apoteker langsung mengambil kesimpulan bahwa obat yang dimaksud adalah (misalnya, saya ngarang) “Cyprofloxacin” padahal yang dimaksud si dokter adalah “Cyprofloxasin”.
Solusi : Apoteker juga perlu dibekali dengan kemampuan membaca dengan baik dan benar. Terutama tulisan dokter.
Tidak dibenarkan alasan rabun senja, apalagi buta huruf.
3. Pasien kurang waspada.
Inget jamannya OSPEK (gak tau sekarang namanya apa), aturan yang berlaku;
Pasal 1 : Senior selalu benar.
Pasal 2 : Jika senior salah, kembali ke Pasal 1.
Bisa aja kan, si pasien masih memegang teguh kedua pasal tersebut dan diamalkan dalam kehidupan.
Pasal 1 : Apoteker selalu benar.
Pasal 2 : Jika apoteker salah, kembali ke pasal 1.
Secara tulisan dokter emang susah dibaca dan kepatuhan terhadap pasal-pasal yang (tidak) berlaku tersebut, pasien langsung percaya bahwa obat yang dikasih apoteker itu sesuai sama anjuran dokter dan langsung diminum.
Solusi : Jangan langsung minum obatnya kalo belum bayar.
Sementara ini hanya 3 hipotesis dan solusi tersebut yang dapat saya kemukakan.
Semoga bermanfaat.
Peran Apoteker dalam Swamedikasi
Kesehatan Indonesia semakin hari semakin memburuk. Salah satu penyebabnya adalah kondisi perekonomian Indonesia yang tidak kunjung membaik. Masyarakat miskin memandang kesehatan adalah kebutuhan yang dapat ditunda demi pemenuhan kebutuhan lain yang lebih fundamental, makan misalnya.
Saat ini di Indonesia, persentase penduduk miskinnya mencapai 16,58% (Depkes RI, 2008). Pada masyarakat dengan status ekonomi rendah ditambah dengan pendidikan yang rendah, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan sebagai aspek yang merupakan penekanan upaya promotif dan preventif dalam pembangunan kesehatan, cenderung belum menjadi sesuatu yang dirasakan sebagai kebutuhan. Oleh karena itu, sementara menunggu kondisi perekonomian Indonesia membaik, maka perlu upaya peningkatan kesadaran memelihara kesehatan (masyarakat) sendiri dalam bentuk swamedikasi (self medication).
Menurut WHO (World Health Organization), Swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri. Swamedikasi juga diartikan sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif penderita (pasien). Swamedikasi menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan sebagai objek yang hanya menerima pengupayaan kesehatan oleh pemerintah, tetapi mengupayakan kesehatannya sendiri. AphA (American Pharmacists Association) mengklasifikasikan swamedikasi menjadi: (1) Perilaku gaya hidup sehat dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit; (2) Perilaku swamedikasi medis yang berhubungan dengan gejala dan pengobatan; (3) Perilaku yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sehari-hari tiap individu.
Disadari atau tidak swamedikasi telah berjalan dari zaman dahulu kala secara tradisional oleh para nenek moyang Bangsa Indonesia yang dikenal dengan jamunya, mengingat letak geografis Negara Indonesia yang banyak ditumbuhi tanaman obat. Seiring dengan perkembangan zaman, maka diperlukan swamedikasi yang lebih terarah dengan tanaman obat yang telah dikemas dalam bentuk yang lebih modern. Dengan adanya swamedikasi yang terarah, maka masyarakat yang sakit, terlepas dari mereka kaya atau miskin, dapat melakukan pengobatan terhadap dirinya sendiri maupun kepada keluarganya.
Tenaga kesehatan yang paling berperan dalam mengarahkan swamedikasi adalah apoteker (farmasis). Mengapa apoteker? Karena dalam pelaksanaan swamedikasi seperti, pemilihan obat, pasien paling banyak berinteraksi dengan apoteker yang memang memiliki kualifikasi dalam bidang tersebut. Posisi farmasis menjadi sangat strategis dalam mewujudkan pengobatan rasional bagi masyarakat karena keterlibatannya secara langsung dalam aspek aksebilitas, ketersediaan, keterjangkauan sampai pada penggunaan obat dan perbekalan kesehatan lain, sehingga dimungkinkan terciptanya keseimbangan antara aspek klinis dan ekonomi berdasarkan kepentingan pasien. Obat-obatan yang dapat diperoleh masyarakat secara bebas dilengkapi dengan informasi yang lengkap mengenai obat tersebut dan telah melewati serangkaian pengujian keefektifan dan keamanan obat. Untuk meningkatkan keamanan pasien FDA (Food and Drug Administration) mengharuskan semua obat (termasuk obat bebas) untuk diberi label dengan kode bar, yang akan menjamin pemakain obat dengan benar, obat yang tepat dalam jumlah yang tepat dan pada waktu yang tepat. Dalam hal ini, apoteker dapat memberikan asuhan kefarmasiannya melalui kode bar yang ada pada sediaan (obat). Disinilah peranan farmasis menjadi sangat penting.
Swamedikasi memiliki beberapa keuntungan dalam penerapannya, yaitu : (1) Biaya yang diperlukan tidak banyak karena tidak harus ke rumah sakit dan diperiksa oleh dokter; (2) Lebih mudah karena pengobatan dilakukan sendiri menggunakan obat-obatan yang mudah diperoleh; (3) Kualitas pengobatan terjamin karena dilakukan sendiri, secara tidak sadar pasien akan mengupayakan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Penggunaan obat tanpa resep untuk swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas dan memberikan efikasi sesuai yang diharapkan; dan (4) Aman karena obat yang dipakai adalah obat yang telah melewati serangkaian pengujian dan tertera aturan (dosis) pemakaian obat.
Menurut Widayati (2006), swamedikasi akan berjalan dengan baik dan terus meningkat. Beberapa faktor berperan dalam peningkatan tersebut, yaitu: (1) Pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya; (2) Motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri; (3) Ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR (Obat Tanpa Resep) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul; serta (4) Diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan.
Kabar baiknya saat ini adalah ada sekitar ratusan penyakit yang dapat ditangani dengan swamedikasi (AphA, 2004), misalnya diare, faringitis, konstipasi, sakit dan nyeri (umum, ringan, sampai sedang), alergi, anemia, pengontrolan tekanan darah, kaki atlit, asma, jerawat, kapalan, dermatitis, wasir, sakit kepala, insomia, psoriasis, pilek, demam, muntah, obesitas, sinuisitis, ketombe, luka bakar, biang keringat, penyakit peridontal, kandida vaginitis, xerostomia dan masih banyak lagi. Dengan demikian, swamedikasi merupakan salah satu cara peningkatan kesehatan yang sangat baik untuk diterapkan di Indonesia, karena lebih murah dan mudah tetapi tidak mengabaikan kualitas pengobatan melalui pengoptimalan tenaga farmasis dan masyarakat. Sudah saatnya Pemerintah mengintensifkan program jangka panjang yang memberdayakan masyarakat sendiri seperti swamedikasi daripada mencoba menyediakan berbagai sarana kesehatan yang sulit terealisasi dan sulit dijangkau oleh masyarakat.
Saat ini di Indonesia, persentase penduduk miskinnya mencapai 16,58% (Depkes RI, 2008). Pada masyarakat dengan status ekonomi rendah ditambah dengan pendidikan yang rendah, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan sebagai aspek yang merupakan penekanan upaya promotif dan preventif dalam pembangunan kesehatan, cenderung belum menjadi sesuatu yang dirasakan sebagai kebutuhan. Oleh karena itu, sementara menunggu kondisi perekonomian Indonesia membaik, maka perlu upaya peningkatan kesadaran memelihara kesehatan (masyarakat) sendiri dalam bentuk swamedikasi (self medication).
Menurut WHO (World Health Organization), Swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri. Swamedikasi juga diartikan sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif penderita (pasien). Swamedikasi menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan sebagai objek yang hanya menerima pengupayaan kesehatan oleh pemerintah, tetapi mengupayakan kesehatannya sendiri. AphA (American Pharmacists Association) mengklasifikasikan swamedikasi menjadi: (1) Perilaku gaya hidup sehat dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit; (2) Perilaku swamedikasi medis yang berhubungan dengan gejala dan pengobatan; (3) Perilaku yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sehari-hari tiap individu.
Disadari atau tidak swamedikasi telah berjalan dari zaman dahulu kala secara tradisional oleh para nenek moyang Bangsa Indonesia yang dikenal dengan jamunya, mengingat letak geografis Negara Indonesia yang banyak ditumbuhi tanaman obat. Seiring dengan perkembangan zaman, maka diperlukan swamedikasi yang lebih terarah dengan tanaman obat yang telah dikemas dalam bentuk yang lebih modern. Dengan adanya swamedikasi yang terarah, maka masyarakat yang sakit, terlepas dari mereka kaya atau miskin, dapat melakukan pengobatan terhadap dirinya sendiri maupun kepada keluarganya.
Tenaga kesehatan yang paling berperan dalam mengarahkan swamedikasi adalah apoteker (farmasis). Mengapa apoteker? Karena dalam pelaksanaan swamedikasi seperti, pemilihan obat, pasien paling banyak berinteraksi dengan apoteker yang memang memiliki kualifikasi dalam bidang tersebut. Posisi farmasis menjadi sangat strategis dalam mewujudkan pengobatan rasional bagi masyarakat karena keterlibatannya secara langsung dalam aspek aksebilitas, ketersediaan, keterjangkauan sampai pada penggunaan obat dan perbekalan kesehatan lain, sehingga dimungkinkan terciptanya keseimbangan antara aspek klinis dan ekonomi berdasarkan kepentingan pasien. Obat-obatan yang dapat diperoleh masyarakat secara bebas dilengkapi dengan informasi yang lengkap mengenai obat tersebut dan telah melewati serangkaian pengujian keefektifan dan keamanan obat. Untuk meningkatkan keamanan pasien FDA (Food and Drug Administration) mengharuskan semua obat (termasuk obat bebas) untuk diberi label dengan kode bar, yang akan menjamin pemakain obat dengan benar, obat yang tepat dalam jumlah yang tepat dan pada waktu yang tepat. Dalam hal ini, apoteker dapat memberikan asuhan kefarmasiannya melalui kode bar yang ada pada sediaan (obat). Disinilah peranan farmasis menjadi sangat penting.
Swamedikasi memiliki beberapa keuntungan dalam penerapannya, yaitu : (1) Biaya yang diperlukan tidak banyak karena tidak harus ke rumah sakit dan diperiksa oleh dokter; (2) Lebih mudah karena pengobatan dilakukan sendiri menggunakan obat-obatan yang mudah diperoleh; (3) Kualitas pengobatan terjamin karena dilakukan sendiri, secara tidak sadar pasien akan mengupayakan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Penggunaan obat tanpa resep untuk swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas dan memberikan efikasi sesuai yang diharapkan; dan (4) Aman karena obat yang dipakai adalah obat yang telah melewati serangkaian pengujian dan tertera aturan (dosis) pemakaian obat.
Menurut Widayati (2006), swamedikasi akan berjalan dengan baik dan terus meningkat. Beberapa faktor berperan dalam peningkatan tersebut, yaitu: (1) Pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya; (2) Motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri; (3) Ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR (Obat Tanpa Resep) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul; serta (4) Diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan.
Kabar baiknya saat ini adalah ada sekitar ratusan penyakit yang dapat ditangani dengan swamedikasi (AphA, 2004), misalnya diare, faringitis, konstipasi, sakit dan nyeri (umum, ringan, sampai sedang), alergi, anemia, pengontrolan tekanan darah, kaki atlit, asma, jerawat, kapalan, dermatitis, wasir, sakit kepala, insomia, psoriasis, pilek, demam, muntah, obesitas, sinuisitis, ketombe, luka bakar, biang keringat, penyakit peridontal, kandida vaginitis, xerostomia dan masih banyak lagi. Dengan demikian, swamedikasi merupakan salah satu cara peningkatan kesehatan yang sangat baik untuk diterapkan di Indonesia, karena lebih murah dan mudah tetapi tidak mengabaikan kualitas pengobatan melalui pengoptimalan tenaga farmasis dan masyarakat. Sudah saatnya Pemerintah mengintensifkan program jangka panjang yang memberdayakan masyarakat sendiri seperti swamedikasi daripada mencoba menyediakan berbagai sarana kesehatan yang sulit terealisasi dan sulit dijangkau oleh masyarakat.
TINJAUAN SOSIOLOGIS TERHADAP PENGATURAN MENGENAI PEKERJAAN KEFARMASIAN DI APOTEK
I. Pendahuluan
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya dari pembangunan nasional yang diselenggarakan di semua bidang kehidupan. Pembangunan kesehatan diarahkan guna terciptanya keadaan sehat. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Di dalam mengoptimalisasikan derajat kesehatan masyarakat tersebut, pembangunan kesehatan diimplementasikan dalam bentuk pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya pelayanan kefarmasian.
Pelayanan kefarmasian dilakukan selain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap farmasi dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, juga untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan farmasi atau penggunaan farmasi yang tidak tepat dan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pelayanan kefarmasian juga ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan terkait dengan penggunaan farmasi sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupan manusia.
Didalam pelayanan kefarmasian di apotek, peranan apoteker menjadi perhatian utama karena apoteker merupakan penanggung jawab dalam praktik pelayanan kefarmasian di apotek.
Disamping itu, apotek juga bukan merupakan tempat jual beli obat, melainkan tempat melakukan pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker pengelola apotek, dengan bantuan tenaga kesehatan dan non kesehatan. Peran apoteker bukanlah sekedar meracik obat, tetapi juga memberikan informasi obat yang aman dan benar.
Keharusan apoteker berada pada sepanjang jam buka apotek telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek. Dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa pengelolaan apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker. Melalui ketentuan tersebut, pengelolaan apotek telah beralih dari badan usaha kepada sarjana farmasi sebagai tempat pengabdian profesi.
Dalam praktik di lapangan, situasi pelayanan kefarmasian di apotek saat ini masih belum optimal dikarenakan peran apoteker yang belum berjalan. Pada jam buka apotek sering tidak dijumpainya seorang apoteker, sedangkan menurut ketentuan dalam pengelolaan apotik, apoteker harus ada di tempat sepanjang jam buka apotek. Berdasarkan hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) lebih dari 50% apotek tidak dijaga apotekernya, sedangkan di papan nama apotek jelas tertera apotek buka 24 jam lengkap dengan nama apotekernya. (Koran Sindo, 4 Mei 2007)
Dalam pelayanan kefarmasian di apotek, masyarakat lebih banyak menjumpai asisten apoteker sebagai pengelola apotek daripada apoteker. Dari sudut pandang keilmuan, asisten apoteker tidak dapat menggantikan apoteker di dalam pekerjaan kefarmasian karena basic keilmuan yang berbeda.
Namun disisi lain, berdasarkan praktik yang terjadi secara berulang dan terus menerus, asisten apoteker dinilai telah memiliki pengetahuan yang sama di bidang obat berdasarkan ilmu yang diperolehnya selama dalam proses pendidikan ditambah dengan pengetahuan yang diperoleh secara praktis.
Terkait dengan pengaturan mengenai pekerjaan kefarmasian dimana di dalamnya terdapat ketentuan bagi apoteker dan asisten apoteker dalam melaksanakan pekerjaannya, pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan akan memperbaiki sistem pelayanan kefarmasian dengan menertibkan peran apoteker dalam pengelolaan apotek melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pekerjaan Kefarmasian. Dalam makalah ini akan dikaji aspek sosiologis terhadap penyusunan RPP tentang Pekerjaan Kefarmasian.
II. Pembahasan
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dinyatakan bahwa orientasi pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser dari obat ke pasien yang mengacu pada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.
Bentuk interaksi tersebut antara lain melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui agar takaran dan bentuknya atau tujuan akhirnya sesuai harapan dokter yang memberi resep bersama-sama pasiennya dan terdokumentasikannya resep dengan baik.
Dengan tuntutan yang semakin luas terhadap peran apoteker dalam konsep pharmaceutical care tersebut dan maraknya berbagai pengaduan masyarakat mengenai peranan apoteker yang tidak optimal di apotek, pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah menyusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian yang saat ini sedang dalam proses penetapan Presiden menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
Dalam draft RPP dinyatakan beberapa tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian, yaitu :
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan atau menetapkan yang berkaitan dengan jasa kefarmasian dan sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.
Mengenai tenaga kefarmasian disebutkan terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang meliputi Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Asisten Apoteker/Tenaga Menengah Farmasi dan Analis Farmasi. Kewenangan apoteker antara lain melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki. Sedangkan untuk kewenangan tenaga teknis kefarmasian dinyatakan bahwa Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) mempunyai wewenang untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dibawah bimbingan dan pengawasan apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, secara yuridis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, asisten apoteker tetap berada dalam bimbingan dan pengawasan apoteker. Hal inilah yang dinilai kalangan profesi asisten apoteker sebagai ketentuan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, karena pada kenyataannya asisten apoteker telah berperan sebagai apoteker dalam melayani masyarakat di apotek, termasuk pemberian informasi tentang obat yang harus dilakukan oleh apoteker.
Dalam sudut pandang hukum, kewenangan tetap harus diberikan berdasarkan basic keilmuan, sehingga walaupun secara pengalaman asisten apoteker telah matang dalam pengelolaan apotek, tidak berarti menjadikannya sebagai apoteker, karena pengetahuan yang didapat memang berbeda. Hal ini menjadi dilematis, karena dalam praktik pelayanan kefarmasian, prinsip ketersediaan dan keterjangkauan tetap harus dikedepankan disamping profesionalisme mengingat farmasi sangat terkait erat dengan penentuan hidup mati manusia, bersama-sama dengan kedokteran. Ketidakhadiran apoteker selama ini di apotek telah dibantu dengan keberadaan asisten apoteker, sehingga peranan asisten apoteker juga tidak dapat dipinggirkan begitu saja demi jaminan penerimaan pelayanan kefarmasian di apotek.
Dalam peranan hukum untuk mengubah masyarakat, akan dijumpai suatu perbedaan antara pola-pola perilaku yang hidup dalam masyarakat dengan pola-pola yang dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum. Adalah suatu keadaan yang lazim, bahwa kaidah-kaidah hukum disusun dan direncanakan oleh sebagian kecil dari masyarakat yang menamakan dirinya sebagai elit masyarakat tersebut, yang mungkin berbeda kepentingan dan pola-pola perilakunya dengan yang diatur. Lagipula suatu kaidah hukum berisikan patokan perilaku yang kelak diharapkan. Namun hal demikian akan menyebabkan tertinggalnya hukum di belakang perubahan sosial masyarakat (Soerjono Soekanto, 2004).
Peranan hukum dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek, yang membuat beralihnya pengelolaan apotek dari badan usaha ke sarjana farmasi, tidak diimbangi dengan kaidah-kaidah lain yang dibutuhkan masyarakat profesi apoteker, seperti dengan pemberian reward yang memadai.
Menurut ajaran aliran sociological jurisprudence, hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal (Soerjono Soekanto, 2004). Sociological jurisprudence mengkaji bagaimana norma disesuaikan dengan rasa keadilan masyarakat sehingga ditekankan pada kesebandingan hukum.
Dengan demikian dalam draft RPP Pekerjaan Kefarmasian juga harus memperhatikan unsur kebutuhan sosial guna menciptakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dalam pelayanan kefarmasian. Disamping itu dalam menetapkan hukum juga harus diperhatikan pola perilaku yang sesuai, artinya dalam pembuatan hukum seharusnya terdapat pengkajian terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan keberlakuan dan efektifitas aturan tersebut sehingga hukum tidak tertinggal karena tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Pengaturan kewenangan dalam draft RPP Pekerjaan kefarmasian dinilai kalangan profesi asisten apoteker dapat menimbulkan dilema terkait dengan jaminan ketersediaan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat dengan praktik kefarmasian yang dibenarkan secara hukum. Sementara ketidakpatuhan apoteker untuk berada sepanjang jam buka apotek, turut didukung oleh lemahnya pengawasan pemerintah.
Dalam konteks sosiologi hukum, ketidakpatuhan hukum ini terkait dengan budaya hukum yang menggambarkan kegagalan internalisasi norma dan nilai sosial dari hukum ke dalam sikap dan perilaku masyarakat. Kegagalan internalisasi norma dapat disebabkan karena penggunaan hukum modern dalam masyarakat namun masyarakat masih mengharapkan nilai tradisional. Sebagai contoh, masyarakat masih lebih mengakui peran dokter dalam pengobatan penyakitnya, sementara penjelasan tentang obat yang harus dipakainya yang merupakan pengabdian apoteker, masih dirasakan sebagai penambahan beban prosees menunggu ditebusnya resep.
Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Terjadinya konflik antara nilai-nilai hukum berasal dari interaksi antara nilai-nilai tertentu dengan struktur sosial dimana nilai-nilai itu dijalankan (Satjipto Rahardjo, 2003).
Dalam kondisi masyarakat majemuk, seperti Indonesia, hukum modern lebih dikedepankan, sehingga yang akan tersingkir adalah masyarakat tradisional. Namun tentunya demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, hukum harus mengadopsi nilai-nilai sosial dari semua kelompok masyarakat yang ada.
Hukum sebagai tool of social engineering, mendorong lembaga-lembaga tertentu dalam membangun kondisi sosial ekonomi (proses rekayasa sosial), sehingga hukum bisa berfungsi sebagai pendorong terciptanya perilaku-perilaku tertentu.
Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya (Satjipto Rahardjo, 2003).
Dengan demikian dalam penciptaan hukum, berbagai aspek sosial harus diperhatikan demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga sesuai dengan tujuannya, pengaturan dalam RPP Pekerjaan Kefarmasian dapat memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat di dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian, mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian, serta memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.
III. Penutup
Konsep pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser dari obat ke pasien, sehingga peranan apoteker juga diharapkan dapat menunjang praktik pelayanan kefarmasian yang ditujukan untuk melindungi masyarakat terkait dengan penggunaan farmasi. Dalam hal peranan apoteker sebagai penanggung jawab di apotek, apoteker juga diharapkan dapat memenuhi hak konsumen akan pelayanan kefarmasian, antara lain hak berkonsultasi dengan apoteker di apotek tersebut, selain menebus obat atau membeli obat dalam rangka pengobatan sendiri, sehingga di tiap apotek yang buka harus ada apoteker yang bertugas.
Namun kenyataannya sepanjang jam buka apotek jarang sekali ditemui seorang apoteker, dan yang ada hanyalah asisten apoteker, sehingga dorongan untuk memperbaiki situasi pelayanan farmasi melalui pengaturan yang holistik saat ini telah datang dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah mengeluarkan draft RPP tentang Pekerjaan Kefarmasian yang salah satunya memberikan penegasan terhadap peranan apoteker dalam mengelola apotek, termasuk didalamnya diatur juga mengenai kewenangan asisten apoteker untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di bawah bimbingan dan pengawasan apoteker.
Dari sudut pandang sosiologis, menyangkut ketidakpatuhan apoteker terhadap ketentuan pengelolaan apotek, terjadi kegagalan internalisasi norma dari hukum ke dalam sikap dan perilaku masyarakat, sehingga hukum seharusnya dapat memenuhi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Terkait dengan ketentuan batasan kewenangan dari asisten apoteker dalam RPP Pekerjaan Kefaramasian, hukum juga harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Asisten apoteker dalam pelayanan di apotek selama ini telah memenuhi kebutuhan masyarakat terkait dengan penggunaan obat yang berhubungan dengan hidup manusia, sehingga terhadap draft RPP Pekerjaan Kefarmasian perlu dibuat suatu ketentuan peralihan untuk menyesuaikan perubahan yang ada, baik dari aspek hukum maupun dari aspek sosiologis.
Berangkat dari kajian di atas, maka dalam pembuatan peraturan diperlukan kajian sosiologis demi berlakunya peraturan secara efektif, karena hukum akan hidup dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan sosial tertentu. Dalam hal ini, RPP Pekerjaan Kefarmasian yang dibuat juga ditujukan untuk pengaturan praktik pekerjaan kefarmasian yang lebih baik, demi kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya dari pembangunan nasional yang diselenggarakan di semua bidang kehidupan. Pembangunan kesehatan diarahkan guna terciptanya keadaan sehat. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Di dalam mengoptimalisasikan derajat kesehatan masyarakat tersebut, pembangunan kesehatan diimplementasikan dalam bentuk pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya pelayanan kefarmasian.
Pelayanan kefarmasian dilakukan selain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap farmasi dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat, juga untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan farmasi atau penggunaan farmasi yang tidak tepat dan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pelayanan kefarmasian juga ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan terkait dengan penggunaan farmasi sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupan manusia.
Didalam pelayanan kefarmasian di apotek, peranan apoteker menjadi perhatian utama karena apoteker merupakan penanggung jawab dalam praktik pelayanan kefarmasian di apotek.
Disamping itu, apotek juga bukan merupakan tempat jual beli obat, melainkan tempat melakukan pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker pengelola apotek, dengan bantuan tenaga kesehatan dan non kesehatan. Peran apoteker bukanlah sekedar meracik obat, tetapi juga memberikan informasi obat yang aman dan benar.
Keharusan apoteker berada pada sepanjang jam buka apotek telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek. Dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa pengelolaan apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker. Melalui ketentuan tersebut, pengelolaan apotek telah beralih dari badan usaha kepada sarjana farmasi sebagai tempat pengabdian profesi.
Dalam praktik di lapangan, situasi pelayanan kefarmasian di apotek saat ini masih belum optimal dikarenakan peran apoteker yang belum berjalan. Pada jam buka apotek sering tidak dijumpainya seorang apoteker, sedangkan menurut ketentuan dalam pengelolaan apotik, apoteker harus ada di tempat sepanjang jam buka apotek. Berdasarkan hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) lebih dari 50% apotek tidak dijaga apotekernya, sedangkan di papan nama apotek jelas tertera apotek buka 24 jam lengkap dengan nama apotekernya. (Koran Sindo, 4 Mei 2007)
Dalam pelayanan kefarmasian di apotek, masyarakat lebih banyak menjumpai asisten apoteker sebagai pengelola apotek daripada apoteker. Dari sudut pandang keilmuan, asisten apoteker tidak dapat menggantikan apoteker di dalam pekerjaan kefarmasian karena basic keilmuan yang berbeda.
Namun disisi lain, berdasarkan praktik yang terjadi secara berulang dan terus menerus, asisten apoteker dinilai telah memiliki pengetahuan yang sama di bidang obat berdasarkan ilmu yang diperolehnya selama dalam proses pendidikan ditambah dengan pengetahuan yang diperoleh secara praktis.
Terkait dengan pengaturan mengenai pekerjaan kefarmasian dimana di dalamnya terdapat ketentuan bagi apoteker dan asisten apoteker dalam melaksanakan pekerjaannya, pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan akan memperbaiki sistem pelayanan kefarmasian dengan menertibkan peran apoteker dalam pengelolaan apotek melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pekerjaan Kefarmasian. Dalam makalah ini akan dikaji aspek sosiologis terhadap penyusunan RPP tentang Pekerjaan Kefarmasian.
II. Pembahasan
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dinyatakan bahwa orientasi pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser dari obat ke pasien yang mengacu pada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.
Bentuk interaksi tersebut antara lain melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui agar takaran dan bentuknya atau tujuan akhirnya sesuai harapan dokter yang memberi resep bersama-sama pasiennya dan terdokumentasikannya resep dengan baik.
Dengan tuntutan yang semakin luas terhadap peran apoteker dalam konsep pharmaceutical care tersebut dan maraknya berbagai pengaduan masyarakat mengenai peranan apoteker yang tidak optimal di apotek, pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah menyusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian yang saat ini sedang dalam proses penetapan Presiden menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
Dalam draft RPP dinyatakan beberapa tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian, yaitu :
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan atau menetapkan yang berkaitan dengan jasa kefarmasian dan sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.
Mengenai tenaga kefarmasian disebutkan terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang meliputi Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Asisten Apoteker/Tenaga Menengah Farmasi dan Analis Farmasi. Kewenangan apoteker antara lain melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki. Sedangkan untuk kewenangan tenaga teknis kefarmasian dinyatakan bahwa Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) mempunyai wewenang untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dibawah bimbingan dan pengawasan apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, secara yuridis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, asisten apoteker tetap berada dalam bimbingan dan pengawasan apoteker. Hal inilah yang dinilai kalangan profesi asisten apoteker sebagai ketentuan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, karena pada kenyataannya asisten apoteker telah berperan sebagai apoteker dalam melayani masyarakat di apotek, termasuk pemberian informasi tentang obat yang harus dilakukan oleh apoteker.
Dalam sudut pandang hukum, kewenangan tetap harus diberikan berdasarkan basic keilmuan, sehingga walaupun secara pengalaman asisten apoteker telah matang dalam pengelolaan apotek, tidak berarti menjadikannya sebagai apoteker, karena pengetahuan yang didapat memang berbeda. Hal ini menjadi dilematis, karena dalam praktik pelayanan kefarmasian, prinsip ketersediaan dan keterjangkauan tetap harus dikedepankan disamping profesionalisme mengingat farmasi sangat terkait erat dengan penentuan hidup mati manusia, bersama-sama dengan kedokteran. Ketidakhadiran apoteker selama ini di apotek telah dibantu dengan keberadaan asisten apoteker, sehingga peranan asisten apoteker juga tidak dapat dipinggirkan begitu saja demi jaminan penerimaan pelayanan kefarmasian di apotek.
Dalam peranan hukum untuk mengubah masyarakat, akan dijumpai suatu perbedaan antara pola-pola perilaku yang hidup dalam masyarakat dengan pola-pola yang dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum. Adalah suatu keadaan yang lazim, bahwa kaidah-kaidah hukum disusun dan direncanakan oleh sebagian kecil dari masyarakat yang menamakan dirinya sebagai elit masyarakat tersebut, yang mungkin berbeda kepentingan dan pola-pola perilakunya dengan yang diatur. Lagipula suatu kaidah hukum berisikan patokan perilaku yang kelak diharapkan. Namun hal demikian akan menyebabkan tertinggalnya hukum di belakang perubahan sosial masyarakat (Soerjono Soekanto, 2004).
Peranan hukum dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek, yang membuat beralihnya pengelolaan apotek dari badan usaha ke sarjana farmasi, tidak diimbangi dengan kaidah-kaidah lain yang dibutuhkan masyarakat profesi apoteker, seperti dengan pemberian reward yang memadai.
Menurut ajaran aliran sociological jurisprudence, hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal (Soerjono Soekanto, 2004). Sociological jurisprudence mengkaji bagaimana norma disesuaikan dengan rasa keadilan masyarakat sehingga ditekankan pada kesebandingan hukum.
Dengan demikian dalam draft RPP Pekerjaan Kefarmasian juga harus memperhatikan unsur kebutuhan sosial guna menciptakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dalam pelayanan kefarmasian. Disamping itu dalam menetapkan hukum juga harus diperhatikan pola perilaku yang sesuai, artinya dalam pembuatan hukum seharusnya terdapat pengkajian terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan keberlakuan dan efektifitas aturan tersebut sehingga hukum tidak tertinggal karena tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Pengaturan kewenangan dalam draft RPP Pekerjaan kefarmasian dinilai kalangan profesi asisten apoteker dapat menimbulkan dilema terkait dengan jaminan ketersediaan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat dengan praktik kefarmasian yang dibenarkan secara hukum. Sementara ketidakpatuhan apoteker untuk berada sepanjang jam buka apotek, turut didukung oleh lemahnya pengawasan pemerintah.
Dalam konteks sosiologi hukum, ketidakpatuhan hukum ini terkait dengan budaya hukum yang menggambarkan kegagalan internalisasi norma dan nilai sosial dari hukum ke dalam sikap dan perilaku masyarakat. Kegagalan internalisasi norma dapat disebabkan karena penggunaan hukum modern dalam masyarakat namun masyarakat masih mengharapkan nilai tradisional. Sebagai contoh, masyarakat masih lebih mengakui peran dokter dalam pengobatan penyakitnya, sementara penjelasan tentang obat yang harus dipakainya yang merupakan pengabdian apoteker, masih dirasakan sebagai penambahan beban prosees menunggu ditebusnya resep.
Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Terjadinya konflik antara nilai-nilai hukum berasal dari interaksi antara nilai-nilai tertentu dengan struktur sosial dimana nilai-nilai itu dijalankan (Satjipto Rahardjo, 2003).
Dalam kondisi masyarakat majemuk, seperti Indonesia, hukum modern lebih dikedepankan, sehingga yang akan tersingkir adalah masyarakat tradisional. Namun tentunya demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, hukum harus mengadopsi nilai-nilai sosial dari semua kelompok masyarakat yang ada.
Hukum sebagai tool of social engineering, mendorong lembaga-lembaga tertentu dalam membangun kondisi sosial ekonomi (proses rekayasa sosial), sehingga hukum bisa berfungsi sebagai pendorong terciptanya perilaku-perilaku tertentu.
Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya (Satjipto Rahardjo, 2003).
Dengan demikian dalam penciptaan hukum, berbagai aspek sosial harus diperhatikan demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga sesuai dengan tujuannya, pengaturan dalam RPP Pekerjaan Kefarmasian dapat memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat di dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian, mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian, serta memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.
III. Penutup
Konsep pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser dari obat ke pasien, sehingga peranan apoteker juga diharapkan dapat menunjang praktik pelayanan kefarmasian yang ditujukan untuk melindungi masyarakat terkait dengan penggunaan farmasi. Dalam hal peranan apoteker sebagai penanggung jawab di apotek, apoteker juga diharapkan dapat memenuhi hak konsumen akan pelayanan kefarmasian, antara lain hak berkonsultasi dengan apoteker di apotek tersebut, selain menebus obat atau membeli obat dalam rangka pengobatan sendiri, sehingga di tiap apotek yang buka harus ada apoteker yang bertugas.
Namun kenyataannya sepanjang jam buka apotek jarang sekali ditemui seorang apoteker, dan yang ada hanyalah asisten apoteker, sehingga dorongan untuk memperbaiki situasi pelayanan farmasi melalui pengaturan yang holistik saat ini telah datang dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah mengeluarkan draft RPP tentang Pekerjaan Kefarmasian yang salah satunya memberikan penegasan terhadap peranan apoteker dalam mengelola apotek, termasuk didalamnya diatur juga mengenai kewenangan asisten apoteker untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di bawah bimbingan dan pengawasan apoteker.
Dari sudut pandang sosiologis, menyangkut ketidakpatuhan apoteker terhadap ketentuan pengelolaan apotek, terjadi kegagalan internalisasi norma dari hukum ke dalam sikap dan perilaku masyarakat, sehingga hukum seharusnya dapat memenuhi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Terkait dengan ketentuan batasan kewenangan dari asisten apoteker dalam RPP Pekerjaan Kefaramasian, hukum juga harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Asisten apoteker dalam pelayanan di apotek selama ini telah memenuhi kebutuhan masyarakat terkait dengan penggunaan obat yang berhubungan dengan hidup manusia, sehingga terhadap draft RPP Pekerjaan Kefarmasian perlu dibuat suatu ketentuan peralihan untuk menyesuaikan perubahan yang ada, baik dari aspek hukum maupun dari aspek sosiologis.
Berangkat dari kajian di atas, maka dalam pembuatan peraturan diperlukan kajian sosiologis demi berlakunya peraturan secara efektif, karena hukum akan hidup dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan sosial tertentu. Dalam hal ini, RPP Pekerjaan Kefarmasian yang dibuat juga ditujukan untuk pengaturan praktik pekerjaan kefarmasian yang lebih baik, demi kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.
PELAYANAN KEFARMASIAN
Konsep pelayanan kefarmasian lahir karena kebutuhan untuk bisa mengkuantifikasi pelayanan Kefarmasian yang diberikan, baik di klinik maupun di apotik
(komunitas), sehingga peran apoteker dalam pelayanan kepada pasien dapat terukur.
Penekanan Pelayanan Kefarmasian terletak pada dua hal utama,yaitu :
• Apoteker menentukan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasien sesuai kondisi penyakit
• Apoteker membuat komitmen utk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara berkesinambunngan
Secara prinsip, Pelayanan Kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan:
1. Penyusunan informasi dasar atau database pasien
2. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment)
3. Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian (RPK)
4. Implementasi RPK
5. Monitoring implementasi
6. Tindak Lanjut (Follow Up)
Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK)
Rencana Pelayanan Kefarmasian memuat beberapa hal berikut :
1. Rekomendasi terapi
Dalam rekomendasi terapi diajukan saran tentang pemilihan/penggantian obat, perubahan dosis, interval dan bentuk sediaan.
2. Rencana Monitoring
Rencana monitoring terapi obat meliputi:
a.Monitoring efektivitas terapi.
Monitoring terapi obat pada kasus DM dilakukan dengan memantau tanda-tanda vital (Target Penatalaksanaan Diabetes). Selain itu parameter klinik juga dapat membantu monitoring efektivitas terapi.
b.Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB) meliputi efek samping obat, alergi dan interaksi obat. Pelaksanaan monitoring terapi obat bagi pasien di apotek memiliki keterbatasan bila dibandingkan dengan di rumah sakit, antara lain kesulitan untuk mengikuti perkernbangan pasien setelah keluar dari apotek.
3. Rencana Konseling
Rencana konseling memuat pokok-pokok materi konseling yang akan disampaikan.
BAHAN KONSELING MENGENAI Obat Hipoglikemia Oral
Terapi Sulfonilurea | Bahan Konseling 1. Tanda-tanda hipoglikemia dan penanganannya 2. Minumlan glipizide kira-kira 30 menit sebelum makan untuk meningkatkan efektivitas 3. Hindari alkohol,alkohol mungkin dapat menyebabkan hipoglikemia dan menginduksi reaksi flushing |
Meglinida | 1. Gejala hipoglikemia dan penanganannya 2. Minumlah dengan segera, hingga 30 menit sebelum setiap kali makan 3. Lewatkan satu dosis bila tidak makan 4. Tambahkan satu dosis seliap kali makan tambahan |
Biguanida | 1. Minumlah bersama makanan untuk menghindari gangguan pada perut(gastrointestinal upset) 2. Mungkin mengalami diare ringan dan kembung (bloatedness) 3. Apabila diminum bersamaan dangan sulfonilurea atau insufin, penderita perlu diingatkan kamungkinan terjadinya hipoglikemia 4. Jelaskan bahwa gangguan ginjal dapat mengarah pada asidosis laktal dan mintalah untuk memantau fungsi ginjal dan hati secara teratur. 5. Laporkan gajala asidosis laktat misalnya kajang atau nyeri otot, hiperventilasi, kelelahan yang tidak wajar dan kalemahan 6. Hindari alkohol 7. laporkan masalah medis yang bersamaan dan prosedur diagnoslik mendatang |
Tiazlidinedion | 1. Minumlah dengan makanan 2 Apabila diminum dengan suRonylurea atau insulin, penderita perlu diingatkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia 3 Laporkan tanda-tanda toksiatas hati misalnya,mual,muntah, nyeriperut,kelelahanyang tidak wajar, tidak bernafsu makan (anareksia). urin berwarna gelap,dsb. |
Penghambat glukosidase | 1 Minumlah barsama sendok pertama setiap makan 2 Lewati satu dosis bila tidak maka 3 Apabila diminum/diberikan bersamaan dengan sulfonylurea atau insulin atas reaksi hipoglikemia dengan sumber glukosa yang sudah tersedia misalnya dekstrosa gula pasir tidak efektif karena pengaruh acarbos 4 Peringatan kemungkinan terjadinya diare sendawa,nyeri perut,khususnya pada pengobatan awal 5 Laporkan gejala gangguan pencernaan yang terus menerus |
Untuk penderita yang mendapat resep dokter dapat diberikan konseling secara lebih terstruktur dengan tiga pertanyaan utama sebagai berikut :
• Apa yang dikatakan dokter tentang peruntuhan/kegunaan pengobatan anda?
• Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat Anda?
• Apa yang dikatakan dokter tentang harapan terhadap pengobatan Anda
FARMAKOPE HERBAL INDONESIA
Berita gembira karena negara Indonesia akhirnya telah menerbitkan Farmakope Herbal Indonesia. Buku resmi ini adalah hasil kerja sama DEPKES RI dengan Badan POM, ditetapkan dalam Kepmenkes No 37/Menkes/SK/V/2008. Buku ini merupakan standar mutu di bidang farmasi untuk bahan yang berasal dari tumbuhan dan bahan alam lainnya. Panitia penyusun terdiri dari pakar dalam berbagai keahlian. Penyusunannya disesuaikan dengan pedoman Dewan Standardisasi Nasional (DSN) tentang perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Farmakope Herbal Indonesia (FHI) berisi ketentuan umum serta 70 monografi simplisia dan ekstrak. I samping itu juga berisikan informasi dan penjelasan metode analisis dan prosedur pengujian umum, mikrobiologi, biologi, kimia dan fisika.
Parameter standar sesuai FHI. Untuk simplisia sbb:
- Angka kapang/khamir (AKK)
- Bakeri patogen
2. Cemaran logam berat: Pb, Cd, As
3. Cemaran pestisida: fosfor organik dan klor organik
4. Cemaran aflatoksin
Farmakope Herbal Indonesia (FHI) berisi ketentuan umum serta 70 monografi simplisia dan ekstrak. I samping itu juga berisikan informasi dan penjelasan metode analisis dan prosedur pengujian umum, mikrobiologi, biologi, kimia dan fisika.
Parameter standar sesuai FHI. Untuk simplisia sbb:
- Identitas simplisia
- Mikroskopis
- Senyawa identitas
- Pola kromatografi
- Susut pengeringan
- Abu total
- Abu tidak larut asam
- Sari larut air
- Sari larut etanol
- Kandungan kimia simplisia (misal kadar minyak atsiri, kadar senyawa identitas, dan sebagainya).
- Pembuatan ekstrak
- Rendemen
- Identitas ekstrak
- Senyawa identitas
- Kadar air
- Abu total
- Abu tidak larut asam
- Kandungan kimia ekstrak (misal kadar minyak atisiri, kadar senyawa identitas, dan sebagainya).
- Cemaran mikroba
- Angka kapang/khamir (AKK)
- Bakeri patogen
2. Cemaran logam berat: Pb, Cd, As
3. Cemaran pestisida: fosfor organik dan klor organik
4. Cemaran aflatoksin
Langganan:
Postingan (Atom)